Kamis, 06 Juni 2013

CIVIC EDUCATION



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Konsep Dasar tentang Agama

1.     Pengertian Agama

Pada umumnya di Indonesia digunakan istilah “agama” yang sama artinya dengan istilah asing “religi” atau “godsdienstr” (Belanda), atau “religion” (Inggris). Istilah agama berasal dari bahasa sangsakerta yang pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan. Dalam arti linguistik kata agama berasal dari suku kata A-G-A-M-A, kata “A” berarti “tidak”, kata “GAM” berarti “pergi”, dan kata “A” merupakan kata sifat yang menguatkan yang kekal. Jadi istilah kata agama berarti “tidak pergi” atau “tidak berjalan” (kekal, eksternal) sehingga agama mengandung artian pedoman hidup yang kekal (Hasan Shadily, Ensiki, 1980:105).
Pengertian agama secara umum adalam himpunan, doktrin, ajaran serta hukum – hukum yang telah baku diyakini sebagai modifikasi perintah tuhan untuk manusia. Atau peraturan tentang cara hidup baik lahir maupun batin dan sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut.

2.     Fungsi Agama di Masyarakat

Pengertian fungsi disini adalah sejauh mana sumbangan yang diberikan agama terhadap masyarakat sebagai usaha yang aktif dan berjalan secara terus – menerus. Dalam hal ini ada dua fungsi agama bagi masyarakat diantaranya:
-         Agama telah membantu, mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban – kewajiban sosial dengan memberikan nilai – nilai yang berfungsi menyalurkan sikap – sikap para anggota masyarakat dan menciptakan kewajiban – kewajiban sosial mereka. Dalam hal ini agama telah menciptakan sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.
-         Agama telah memberikan kekuatan penting dalam memaksa dan mempererat adat istiadat yang dipandang bagus yang berlaku di masyarakat.
Secara lebih jauh bahwa fungsi agama di masyarakat dapat dilihat dari fungsinya terutama sebagai suatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiyahnya agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam kewajiban – kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai – nilai yang mendasari sistem sosial dukungan bersama oleh kelompok – kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai – nilai sosial, maka yang menunjukan bahwa nilai – nilai keagamaan tesebut tidak mudah diubah, karena adanya perubahan dalam konsepsi – kosepsi kegunaan dan kesenangan duniawi.

B.   Konsep Dasar tentang Negara
3.     Pengertian Negara

Penjelasan yang sistematis mengenai Negara berawal dari para filosof yunani, diantaranya menurut Aristoteles manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial (zoon politicon), sudah waktunya untuk hidup dalam suatu kota (polis) dengan begitu ia dapat mencapai watak moralnya yang tinggi. Oleh karena itu Negara bertujuan untuk mencari kebaikan umum dan kesempurnaan moral, yang tidak hanya sekedar asosiasi politik, tetapi secara bersamaan berperan sebagai komunitas keagamaan dan agen sosialisasi yang umumnya berurusan dengan pengembangan pikiran dan jiwa individu.
Secara terminologi, Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita – cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Beberapa definisi Negara oleh para ahli, diantaranya :
1.      Georg jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
2.      Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan Negara kesusilaan yang muncul sebagai sintasis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
3.      Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
4.      Roger H.Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atau nama masyarakat.
5.      Prof R.Djokosoetono
Negara adalah suatu oraganisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah suatu pemerintahan yang sama.
6.      Prof. Mr. Soenarko
Negara adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu dimana kekuasaan Negara berlaku sepenuhnya sebagai suatu kedaulatan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat dikatakan bahwa Negara merupakan:
a.       Suatu organisasi kekuasaan yang teratur,
b.      Kekuasaan bersifat memaksa dan monopoli.
c.       Suatu organisasi yang bertugas mengurus kepentingan bersama dalam masyarakat; dan
d.      Persekutuan yang memiliki wilayah tertentu dan dilengkapi alat perlengkapan Negara.

Negara merupakan integrasi politik, organisasi pokok kekuatan politik, agensi (alat) masyarakat yang memegang kekuasaan mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan di dalamnya. Dengan demikian Negara mengintegrasikan dan membimbing berbagai kegiatan sosial penduduknya kearah tujuan bersama. Sementara itu, dalam islam Negara di dirikan atas prinsip – prinsip tertentu yang ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Prinsip – prinsip itu antara lain:
Pertama, seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang telah menciptakan. Oleh karena itu hanya Allah lah yang harus ditaati, seseorang hanya dapat ditaati bila Allah memerintahkannya.
Kedua, hukum islam ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi Saw. Sunnah Nabi merupakan penjelasan otoritatif tentang al-Qur’an.



Sedangkan dalam pandangan al-Maududi karakteristik Negara yang berdasarkan islam adalah:
a.      Tidak ada seorangpun, bahkan seluruh penduduk Negara secara keseluruhan dapat menggugat kedaulatan. Hanya Tuhan yang berdaulat, manusia hanyalah subjek.
b.     Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Kaum mukmin tidak dapat berlindung pada legislasi yang sepenuhnya mandiri, tidak juga dapat mengubah hukum yang telah diletakan Tuhan, sekalipun tuntutan untuk mewujudkan legislasi atau perubahan hukum ilahi ini diambil secara mufakat bulat.
c.      Suatu Negara islam dalam segala hal haruslah didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Saw. Pemerintah yang akan menyelenggarakan Negara semacam ini akan diberi hak untuk ditaati dalam kemampuannya sebagai suatu agen politik yang diciptakan untuk menegakan hukum – hukum Tuhan, sepanjang dia bertindak sesuai dengan kemampuannya.

4.     Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-prang yang mendiaminya, Negara harus memiliki tujuan yang yang disepakati bersama. Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam antara lain :
a.      Bertujuan untuk memperluas kekuasaan
b.     Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum
c.      Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum

5.     Unsur-Unsur Negara
Suatu Negara harus memiliki tiga (3) unsur penting, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah. Ketiga unsur ini oleh Mahfud M.D. disebut unsur konstitutif. Tiga unsur ini perlu ditunjang dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang oleh Mahfud disebut dengan unsur deklaratif.
Untuk jelas memahami unsur-unsur pokok dalam Negara ini, berikut akan dijelaskan masing-masing unsur tersebut.
a.      Rakyat
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu Negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
b.     Wilayah
Wilayah adalah unsur Negara yang harus terpenuhi, karena tidak mungkin ada Negara tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas.
c.      Pemerintah
Pemerintah adalah alat perlengkapan Negara yang bertugas memimpin organisasi Negara untuk mncapai tujuan bersama didirikannya sebuah Negara.
d.     Pengakuan Negara lain
Ada dua macam pengakuan suatu Negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto adalah pengakuan atas fakta adanya Negara. Sedangkan fakto de jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu Negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum.

C.   Hubungan Agama dengan Negara
Betty R. Scharf berpendapat bahwa istilah agama dan Negara hanya berguna bagi pembahasan tentang agama dalam masyarakat – masyarakat kompleks bersekala besar dimana deferensiasi lembaga – lembaga sosial telah melewati proses panjang. Namun demikian ia menggunakan istilah – istilah ini dalam analisis awal terhadap hubungan antara lembaga agama dan lembaga politik di Negara – Negara dan masyarakat – masyarakat Kristen.
Pada umumnya orang muslim berpendapat bahwa pembangunan politik tidaklah mungkin tanpa islam. Sementara bagi kebanyakan ilmuan barat, sebagaimana juga agama – agama lain, islam merupakan penghalang pembangunan politik. Konflik pendapat ini dipicu oleh ketidak saling kenalan satu sama lain dan akibat adanya prasangka dari streotip cultural yang negative yang ada dikedua belah pihak.
Islam tidak dikenal dengan adanya diktomi antara agama dengan politik (Negara), keduanya secara organis berhubungan, bahkan juga integral dengan struktur ekonomi suatu negara islam. Baik al-Qur’an, al-Hadist maupun sejarah islam membuktikan hal itu. Agama dan politik saling keterkaitan dan saling membutuhkan. Pada saat pertama kalinya kehadiran islam, masalah pertama yang dihadapinya adalah politik. Sebab ternyata tanpa peranan politik, islam tak akan pernah mampu hidup. Oleh sebab itu, islam harus memiliki kekuasaan demi kelancaran pengembangan agama.
Dengan demikian ada hubungan yang erat antara agama dengan Negara. Disini pun dapat dibuktikan bahwa perkembangannya suatu agama sangat bergantung pada kondisi politik tertentu. Apabila kondisi politik itu memungkinkan untuk melancarkan  politik keagamaan, maka besar kemungkinan agama itu bisa berkembang dan begitupun sebaliknya. Hijrah Nabi Muhamad Saw. Dari mekah ke kota Madinah, misalnya adalah politik pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan potensial untuk pengembangan agama.
Bagi kaum muslimin dewasa ini islam merupakan jalan hidup yang merupakan aspek – aspek fisik, politik dan spiritual. Syariah islam itu meliputi perundang – undangan hukum, politik, upacara agama, dan moral. Hukum islam atau fiqih tidak terbatas hanya pada masalah – masalah sipil dan kriminal, juga mengatur berbagai urusan politik, ekonomi, sosial, nasional dan internasional. Oleh karena itu, tentu saja bisa berbeda dengan agama lainnya, islam tidak memisahkan agama dari politik (Negara).

Hubungan Agama dan Negara menurut Paham-Paham, yaitu:
1. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Integralistik
2. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Simbiotik
3. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekularistik

1.     Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Integralistik.
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan Negara teokrasi islam. Paradigma   ini menganut paham dan konsep Agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat  dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan Politik atau Negara (daulah).
2. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Simbiotik.
            Menurut paradigma simbiotik, hubungan Agama dan Negara berada pada posisi saling   membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu  juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.
3.     Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekularistik.
Paradigma sekuralistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara Agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga Negara.
F. Hubungan Agama dan Negara: Kasus Islam
Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.
Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) di kalangan umat Islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-bidang ilahiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.
                                                 BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup satu dalam satu kawasan, dan mempunyai pemerintah yang berdaulat, dalam konsep islam, tidak ditemukan rumusan yang pasti, (qathi’) tentang konsep Negara. Dua sumber islam, al-qur’an dan as-sunnah, tidak secara tersurut mendefenisikan model Negara dalam islam. Meskipun demikian, islam mengajarkan banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya Negara itu dibangun dan dibesarkan.
2. Hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya,agama tetap memiliki daya kritis terhadap Negara dan Negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama.dengan kata lain, pola hidup hubungan agama dan Negara di Indonesia membantu apa yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan simbiotik-mutualita.
3. Konsep NKRI dan pancasila adalah ijtihad inklusif kelompok islam dalam era pembentukan Negara Indonesia. Kewajiban umat islam, sebagaimana kelompok lain, adalah menjaga dan melestarikan kesepakan para pendiri bangsa (founding fathers) tersebut. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar