BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Dasar tentang Agama
1. Pengertian Agama
Pada umumnya di Indonesia digunakan istilah “agama” yang
sama artinya dengan istilah asing “religi” atau “godsdienstr” (Belanda), atau
“religion” (Inggris). Istilah agama berasal dari bahasa sangsakerta yang
pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan.
Dalam arti linguistik kata agama berasal dari suku kata A-G-A-M-A, kata “A”
berarti “tidak”, kata “GAM” berarti “pergi”, dan kata “A” merupakan kata sifat yang
menguatkan yang kekal. Jadi istilah kata agama berarti “tidak pergi” atau
“tidak berjalan” (kekal, eksternal) sehingga agama mengandung artian pedoman
hidup yang kekal (Hasan Shadily, Ensiki, 1980:105).
Pengertian agama secara umum adalam himpunan, doktrin,
ajaran serta hukum – hukum yang telah baku diyakini sebagai modifikasi perintah
tuhan untuk manusia. Atau peraturan tentang cara hidup baik lahir maupun batin
dan sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut.
2. Fungsi Agama di Masyarakat
Pengertian fungsi disini adalah sejauh mana sumbangan yang
diberikan agama terhadap masyarakat sebagai usaha yang aktif dan berjalan
secara terus – menerus. Dalam hal ini ada dua fungsi agama bagi masyarakat
diantaranya:
-
Agama telah membantu, mendorong
terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban – kewajiban sosial
dengan memberikan nilai – nilai yang berfungsi menyalurkan sikap – sikap para
anggota masyarakat dan menciptakan kewajiban – kewajiban sosial mereka. Dalam
hal ini agama telah menciptakan sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.
-
Agama telah memberikan kekuatan
penting dalam memaksa dan mempererat adat istiadat yang dipandang bagus yang
berlaku di masyarakat.
Secara lebih jauh bahwa fungsi agama di masyarakat dapat
dilihat dari fungsinya terutama sebagai suatu yang mempersatukan. Dalam
pengertian harfiyahnya agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara
anggota masyarakat maupun dalam kewajiban – kewajiban sosial yang membantu
mempersatukan mereka. Karena nilai – nilai yang mendasari sistem sosial
dukungan bersama oleh kelompok – kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya
persetujuan dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai – nilai
sosial, maka yang menunjukan bahwa nilai – nilai keagamaan tesebut tidak mudah
diubah, karena adanya perubahan dalam konsepsi – kosepsi kegunaan dan
kesenangan duniawi.
B. Konsep
Dasar tentang Negara
3.
Pengertian
Negara
Penjelasan yang sistematis mengenai Negara berawal dari para
filosof yunani, diantaranya menurut Aristoteles manusia pada hakekatnya adalah
makhluk sosial (zoon politicon), sudah waktunya untuk hidup dalam suatu
kota (polis) dengan begitu ia dapat mencapai watak moralnya yang tinggi.
Oleh karena itu Negara bertujuan untuk mencari kebaikan umum dan kesempurnaan
moral, yang tidak hanya sekedar asosiasi politik, tetapi secara bersamaan
berperan sebagai komunitas keagamaan dan agen sosialisasi yang umumnya
berurusan dengan pengembangan pikiran dan jiwa individu.
Secara terminologi, Negara diartikan sebagai organisasi
tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita – cita untuk
bersatu, hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat.
Beberapa
definisi Negara oleh para ahli, diantaranya :
1.
Georg jellinek
Negara
adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di
wilayah tertentu.
2.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara
merupakan Negara kesusilaan yang muncul sebagai sintasis dari kemerdekaan
individual dan kemerdekaan universal.
3.
Roelof Krannenburg
Negara
adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau
bangsanya sendiri.
4.
Roger H.Soltau
Negara
adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama
atau nama masyarakat.
5.
Prof R.Djokosoetono
Negara
adalah suatu oraganisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada dibawah
suatu pemerintahan yang sama.
6.
Prof. Mr. Soenarko
Negara
adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu dimana kekuasaan
Negara berlaku sepenuhnya sebagai suatu kedaulatan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat dikatakan bahwa
Negara merupakan:
a.
Suatu organisasi kekuasaan yang
teratur,
b.
Kekuasaan bersifat memaksa dan
monopoli.
c.
Suatu organisasi yang bertugas
mengurus kepentingan bersama dalam masyarakat; dan
d.
Persekutuan yang memiliki wilayah
tertentu dan dilengkapi alat perlengkapan Negara.
Negara merupakan integrasi politik, organisasi pokok
kekuatan politik, agensi (alat) masyarakat yang memegang kekuasaan mengatur
hubungan antar manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan di
dalamnya. Dengan demikian Negara mengintegrasikan dan membimbing berbagai
kegiatan sosial penduduknya kearah tujuan bersama. Sementara itu, dalam islam
Negara di dirikan atas prinsip – prinsip tertentu yang ditetapkan al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Prinsip
– prinsip itu antara lain:
Pertama,
seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang telah
menciptakan. Oleh karena itu hanya Allah lah yang harus ditaati, seseorang
hanya dapat ditaati bila Allah memerintahkannya.
Kedua, hukum
islam ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi Saw. Sunnah Nabi
merupakan penjelasan otoritatif tentang al-Qur’an.
Sedangkan
dalam pandangan al-Maududi karakteristik Negara yang berdasarkan islam adalah:
a. Tidak ada seorangpun, bahkan seluruh
penduduk Negara secara keseluruhan dapat menggugat kedaulatan. Hanya Tuhan yang
berdaulat, manusia hanyalah subjek.
b.
Tuhan merupakan pemberi hukum sejati
dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Kaum mukmin tidak dapat berlindung
pada legislasi yang sepenuhnya mandiri, tidak juga dapat mengubah hukum yang
telah diletakan Tuhan, sekalipun tuntutan untuk mewujudkan legislasi atau
perubahan hukum ilahi ini diambil secara mufakat bulat.
c. Suatu Negara islam dalam segala hal
haruslah didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah kepada
manusia melalui Rasulullah Saw. Pemerintah yang akan menyelenggarakan Negara
semacam ini akan diberi hak untuk ditaati dalam kemampuannya sebagai suatu agen
politik yang diciptakan untuk menegakan hukum – hukum Tuhan, sepanjang dia
bertindak sesuai dengan kemampuannya.
4. Tujuan
Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan
dari kumpulan orang-prang yang mendiaminya, Negara harus memiliki tujuan yang
yang disepakati bersama. Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam antara lain
:
a.
Bertujuan
untuk memperluas kekuasaan
b. Bertujuan menyelenggarakan
ketertiban hukum
c. Bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan umum
5. Unsur-Unsur
Negara
Suatu Negara harus memiliki tiga (3)
unsur penting, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah. Ketiga unsur ini oleh
Mahfud M.D. disebut unsur konstitutif. Tiga unsur ini perlu ditunjang dengan unsur
lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang oleh
Mahfud disebut dengan unsur deklaratif.
Untuk jelas memahami unsur-unsur
pokok dalam Negara ini, berikut akan dijelaskan masing-masing unsur tersebut.
a. Rakyat
Rakyat dalam pengertian keberadaan
suatu Negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan
dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
b. Wilayah
Wilayah
adalah unsur Negara yang harus terpenuhi, karena tidak mungkin ada Negara tanpa
ada batas-batas teritorial yang jelas.
c. Pemerintah
Pemerintah
adalah alat perlengkapan Negara yang bertugas memimpin organisasi Negara untuk mncapai
tujuan bersama didirikannya sebuah Negara.
d. Pengakuan Negara lain
Ada
dua macam pengakuan suatu Negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de
jure. Pengakuan de facto adalah pengakuan atas fakta adanya Negara. Sedangkan
fakto de jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu Negara atas dasar
pertimbangan yuridis menurut hukum.
C.
Hubungan
Agama dengan Negara
Betty R. Scharf berpendapat bahwa istilah agama dan Negara
hanya berguna bagi pembahasan tentang agama dalam masyarakat – masyarakat
kompleks bersekala besar dimana deferensiasi lembaga – lembaga sosial telah
melewati proses panjang. Namun demikian ia menggunakan istilah – istilah ini
dalam analisis awal terhadap hubungan antara lembaga agama dan lembaga politik
di Negara – Negara dan masyarakat – masyarakat Kristen.
Pada umumnya orang muslim berpendapat bahwa pembangunan politik
tidaklah mungkin tanpa islam. Sementara bagi kebanyakan ilmuan barat,
sebagaimana juga agama – agama lain, islam merupakan penghalang pembangunan
politik. Konflik pendapat ini dipicu oleh ketidak saling kenalan satu sama lain
dan akibat adanya prasangka dari streotip cultural yang negative yang ada
dikedua belah pihak.
Islam tidak dikenal dengan adanya diktomi antara agama
dengan politik (Negara), keduanya secara organis berhubungan, bahkan juga
integral dengan struktur ekonomi suatu negara islam. Baik al-Qur’an, al-Hadist
maupun sejarah islam membuktikan hal itu. Agama dan politik saling keterkaitan
dan saling membutuhkan. Pada saat pertama kalinya kehadiran islam, masalah
pertama yang dihadapinya adalah politik. Sebab ternyata tanpa peranan politik,
islam tak akan pernah mampu hidup. Oleh sebab itu, islam harus memiliki
kekuasaan demi kelancaran pengembangan agama.
Dengan demikian ada hubungan yang erat antara agama dengan
Negara. Disini pun dapat dibuktikan bahwa perkembangannya suatu agama sangat
bergantung pada kondisi politik tertentu. Apabila kondisi politik itu
memungkinkan untuk melancarkan politik
keagamaan, maka besar kemungkinan agama itu bisa berkembang dan begitupun
sebaliknya. Hijrah Nabi Muhamad Saw. Dari mekah ke kota Madinah, misalnya adalah
politik pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan
potensial untuk pengembangan agama.
Bagi kaum muslimin dewasa ini islam merupakan jalan hidup
yang merupakan aspek – aspek fisik, politik dan spiritual. Syariah islam itu
meliputi perundang – undangan hukum, politik, upacara agama, dan moral. Hukum
islam atau fiqih tidak terbatas hanya pada masalah – masalah sipil dan
kriminal, juga mengatur berbagai urusan politik, ekonomi, sosial, nasional dan
internasional. Oleh karena itu, tentu saja bisa berbeda dengan agama lainnya,
islam tidak memisahkan agama dari politik (Negara).
Hubungan Agama dan Negara menurut
Paham-Paham,
yaitu:
1. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Integralistik
2. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Simbiotik
3. Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekularistik
1. Hubungan Agama dan Negara Menurut
Paham Integralistik.
Paradigma
integralistik hampir sama persis dengan pandangan Negara teokrasi islam.
Paradigma ini menganut paham dan konsep
Agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga
yang menyatu (integrated). Paham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini
menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan
Politik atau Negara (daulah).
2.
Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Simbiotik.
Menurut
paradigma simbiotik, hubungan Agama dan Negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik
(simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan Negara sebagai
instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama
sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.
3. Hubungan Agama dan Negara menurut
Paham Sekularistik.
Paradigma
sekuralistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan
Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan
tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik,
sementara Agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga Negara.
F. Hubungan Agama dan Negara: Kasus
Islam
Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup
hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi
Azra (1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan
berlangsung hingga dewasa ini.
Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang
hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara
Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa
lain, hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) di
kalangan umat Islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak diatur oleh
masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau
ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada
dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara
terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam
politik, sebab seperti yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam
hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan
dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal
yang berkenaan dengan bidang-bidang ilahiah, yang bersifat sakral dan suci.
Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan
bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal yang disebutkan di
atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang
dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang
berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan
kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang
bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara kelompok masyarakat
yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup satu dalam satu kawasan, dan
mempunyai pemerintah yang berdaulat, dalam konsep islam, tidak ditemukan
rumusan yang pasti, (qathi’) tentang konsep Negara. Dua sumber islam, al-qur’an
dan as-sunnah, tidak secara tersurut mendefenisikan model Negara dalam islam. Meskipun
demikian, islam mengajarkan banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya Negara
itu dibangun dan dibesarkan.
2.
Hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan
yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan
dinamis adalah tidak ada pemisahan agama dan politik, namun masing-masing dapat
saling mengisi dengan segala peranannya,agama tetap memiliki daya kritis
terhadap Negara dan Negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama.dengan kata
lain, pola hidup hubungan agama dan Negara di Indonesia membantu apa yang
sering disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan simbiotik-mutualita.
3.
Konsep NKRI dan pancasila adalah ijtihad inklusif kelompok islam dalam era
pembentukan Negara Indonesia. Kewajiban umat islam, sebagaimana kelompok lain, adalah
menjaga dan melestarikan kesepakan para pendiri bangsa (founding fathers)
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar