BAB
II
PEMBAHASAN
KONSEP
PENDIDIKAN DALAM ISLAM
SURAH
LUQMAN AYAT 12-19
12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman,
Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa
yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji".
13.
dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14.
dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.
15.
dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16.
(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha
Halus lagi Maha mengetahui”.
17.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).
18.
dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19.
dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
v Asbab
An-Nuzul
Secara
etimologi, kata asbab al-nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW secara berangsur - angsur bertujuan
untuk memperbaiki aqidah, ibadah, akhlak dan pergaulan manusia yang sudah
menyimpang dari kebenaran. Karena itu dapat dikatakan bahwa terjadinya
penyimpangan dan kerusakan dalam tatanan manusia merupakan sebab turunnya
Al-Qur‟an. Asbab al-nuzul (sebab turun ayat) di sini dimaksudkan
sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu.
Sedangkan menurut Subhi al-Salih, asbab an-nuzul adalah sesuatu yang
dengan sebabnya turun ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau
memberi jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab tersebut.[1]
Adapun sebab turunnya ayat 12-19 dari surat Luqman
sejauh penulusuran yang penulis lakukan tidak ditemukan adanya sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, hanya saja dalam ayat 13 dalam tafsir
Al-Misbah, diriwayatkan bahwa Suwayd ibn ash-Shamit suatu ketika datang ke
mekah. Ia adalah seorang yang cukup terhormat di kalangan masyarakatnya. Lalu Rasulullah
mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Suwayd berkata kepada Rasulullah,
“Mungkin apa yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku.” Rasulullah
berkata, “Apa yang ada padamu?” Ia menjawab, “Kumpulan hikmah Lukman.” Kemudian
Rasulullah berkata,
“Sungguh perkataan yang amat baik ! Tetapi apa yang
ada padaku lebih baik dari itu. Itulah al-Qur’an yang diturunkan Allah kepadaku
untuk menjadi petunjuk dan cahaya.” Rasulullah lalu membacakan al-Qur’an
kepadanya dan mengajaknya memeluk Islam.[2]
Kemudian menurut Sayid Qutb bahwa ayat 13 yang
menjelaskan tentang tauhid, inilah hakikat yang ditawarkan oleh nabi Muhammad
saw kepada kaumnya. Namun, mereka menentangnya dalam perkara itu, dan meragukan
maksud baiknya di balik tawarannya. Mereka
takut
dan khawatir bahwa di balik tawaran itu terdapat ambisi Muhammad saw untuk
merampas kekuasaan dan kepemimpinan atas mereka. Kemudian ayat 14 dan 15
penulis menemukan riwayat bahwa ayat ini menggambarkan nuansa pengorbanan yang
agung dan dahsyat. Seorang ibu yang dengan tabiatnya harus menanggung beban
yang lebih berat dan lebih kompleks. Namun, luar biasa, ia tetap menanggungnya
dengan senang hati dan cinta yang lebih dalam, lembut, dan halus. Diriwayatkan
oleh Hafidz Abu Bakar al-Bazzar dalam musnadnya dengan sanadnya dari Buraid
dari ayahnya bahwa seseorang sedang berada dalam barisan tawaf menggendong
ibunya untuk membawanya bertawaf. Kemudian dia bertanya kepada Nabi
Muhammad
saw, “Apakah aku telah menunaikan haknya? ”Rasulullah menjawab, “Tidak,
walaupun satu tarikan nafas.”[3]
Diriwayatkan bahwa ayat 15 ini diturunkan
berhubungan dengan Sa’ad bin Abi Waqqas, ia berkata, “Tatkala aku masuk Islam,
ibuku bersumpah bahwa beliau tidak akan makan dan minum sebelum aku
meninggalkan agama Islam itu. Untuk itu pada hari pertama aku mohon agar beliau
mau makan dan minum, tetapi beliau menolaknya dan tetap bertahan pada
pendiriannya. Pada hari kedua, aku juga mohon agar beliau mau makan dan minum,
tetapi beliau masih tetap pada pendiriannya. Pada hari ketiga, aku mohon kepada
beliau agar mau makan dan minum, tetapi tetap menolaknya. Oleh karena itu, aku
berkata kepadanya, Demi Allah, seandainya ibu mempunyai seratus jiwa dan keluar
satu persatu di hadapan saya sampai ibu mati, aku tidak akan meninggalkan agama
yang aku peluk ini. Setelah ibuku melihat keyakinan dan kekuatan pendirianku,
maka beliaupun mau makan.”[4]
v Tafsir
Surah Luqman ayat 12-19
Dalam ayat 12 diterangkan bahwa Allah telah
memberikan hikmah, akal, paham dan memberikan petunjuk untuk memperoleh ma’rifat
yang benar kepada Luqman. Oleh karena itu, Luqman menjadi seorang yang hakim
(mempunyai hikmah). Ini memberikan pengertian bahwa anjuran Luqman yang
disampaikan kepada anaknya berupa ajaran-ajaran hikmah, bukan dari wahyu. Hal
ini didasarkan pada pendapat yang benar bahwa Luqman adalah seorang hakim
(orang
bijak, filosof) dan bukan Nabi. Orang yang mensyukuri nikmat Allah maka
sebenarnya dia bersyukur untuk kepentingan dirinya sendiri, sebab Allah akan
memberikan pahala yang banyak dan melepaskan dari siksa.[5]
Dalam ayat ini ada cerita menarik yang telah
diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah tentang firman Allah : “Dan
sesungguhnya telah kami berikan kepada Luqman,” yaitu pemahaman,
pengetahuan dan ta’bir mimpi. “Yaitu,bersyukurlah kepada Allah,” kami
memerintahkan kepadanya untuk bersyukur kepada Allah SWT atas apa yang
diberikan, dianugerahkan dan dihadiahkan oleh-Nya berupa keutamaan yang hanya
dikhususkan kepadanya, tidak kepada orang lain yang sejenis di masanya.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman : “Dan barang siapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka ia bersyukur untuk dirinya sendiri,” yaitu manfaat dan
pahalanya hanya akan kembali kepada orang-orang yang bersyukur itu sendiri, dan
firman Allah : “Dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha kaya Lagi Maha terpuji,” yaitu Maha kaya dari
hamba-hamba-Nya, dimana hal itu (ketidak bersyukurannya) tidak dapat
membahayakan-Nya, sekalipun seluruh penghuni bumi mengkufuri- Nya. Karena
sesungguhnya Allah Mahakaya dari selain-Nya. Tidak ada ilah (yang berhak
diibadahi) kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya.[6]
Pada ayat 13 ada kata ya’izhuhu (
يعظه)
yang terambil dari kata wa’zd
(
وعظ)
yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Luqman
memulai nasihatnya dengan seruan menghindari syirik sekaligus mengandung
pengajaran tentang wujud Allah yang Esa.[7] Dalam Tafsir Munir juga ayat
itu disebutkan wa
huwa ya‘izhuh. Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau
al-
‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan ungkapan
halus yang bisa
melunakkan
hati.
Karena
itu, dalam mendidik anaknya, Luqman menempuh cara yang amat baik, yang bisa
meluluhkan hati anaknya sehingga mau mengikuti nasihat-nasihat yang diberikan.
Allah menjelaskan bahwa Luqman telah diberi hikmat, karena itu Luqman
bersyukur
kepada Tuhannya atas semua nikmat yang telah dilimpahkan Nya kepada dirinya. Allah
SWT mewasiatkan kepada mereka supaya memperlakukan orang-orang tua mereka
dengan cara yang baik dan selalu memelihara hak-haknya sebagai orang tua.
Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu merupakan
kezaliman yang besar. Imam Bukhori telah meriwayatkan sebuah hadist yang
bersumber dari Ibnu Mas’ud, Ia telah menceritakan bahwa ketika ayat ini
diturunkan, yaitu firmannya surat al-an’am
ayat 82 :
artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan
iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Q.S. Al-An‟am/6: 82).
Sesudah Allah menurunkan apa yang telah diwariskan
oleh luqman terhadap anaknya, yaitu supaya ia bersyukur kepada Tuhan yang telah
memberikan semua nikmat, yang tiada seorangpun bersekutu denganNya, didalam
menciptakan sesuatu. Kemudian Luqman menegaskan bahwasanya syirik itu adalah
perbuatan yang buruk. Kemudian Allah SWT mengiringi hal tersebut dengan
wasiat-Nya kepada semua anak, supaya mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya,
karena sesungguhnya kedua orang tua adalah penyebab pertama bagi keberadaan
kita di muka bumi ini.
Dalam ayat 14 ini digambarkan bagaimana payah ibu
mengandung, payah bertambah payah. Payah sejak dari mengandung bulan pertama,
bertambah payah tiap bertambah bulan dan sampai di puncak kepayahan di waktu
anak dilahirkan. Lemah sekujur badan ketika menghajan anak keluar, kemudian
mengasuh, menyusukan, memomong, menjaga, memelihara sakit senangnya. Dalam
ujung ayat ini, dianjurkan untuk bersyukur, syukur yang pertama ialah kepada
Allah. Karena semua itu berkat rahmat Allah belaka. Setelah itu bersyukurlah
kepada kedua orang tuamu, ibu yang mengasuh dan ayah yang membela dan
melindungi ibu dan melindungi anak anaknya, ayah yang berusaha mencari sandang
dan pangan setiap hari.[8]
Dalam ayat ini, Allah hanya menyebutkan sebab-sebab manusia harus taat dan
berbuat baik kepada ibunya. Nabi Muhammad saw. sendiri memerintahkan agar
seorang anak lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibunya daripada kepada
bapaknya, sebagaimana diterangkan dalam hadits : Dari Abi Hurairoh, ia berkata,
“Aku bertanya ya Rasulullah, kepada siapakah aku wajib berbakti? “Rasulullah
menjawab, “Kepada ibumu. “Aku bertanya, “Kemudian kepada siapa?” Rasulullah
menjawab, “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasulullah
menjawab.” Kepada ibumu. “Aku bertanya, “Kemudian kepada siapalagi?” Rasulullah
menawab, “Kepada bapakmu, Kemudian kepada kerabat yang lebih dekat, kemudian
kerabat yang lebih dekat.” (Riwayat Ibnu Majah).
Ibu bapak
dalam ayat ini disebut secara umum, tidak dibedakan antara ibu bapak yang
muslim dengan yang kafir. Oleh Karena itu, dapat dipahami bahwa anak wajib
berbuat baik kepada ibu bapaknya, apakah ibu bapaknya itu muslim atau kafir,
jadi pada ayat yang ke-15 ini menerangkan bahwa dalam hal tertentu, seorang
anak dilarang menaati ibu bapaknya jika mereka memerintahkannya untuk
menyukutukan Allah, yang dia sendiri memang tidak mengetahui bahwa Allah
mempunyai sekutu, karena memang tidak ada sekutu bagi-Nya. Sepanjang
pengetahuan
manusia, Allah tidak mempunyai sekutu. Karena menurut naluri, manusia harus
mengesakan Tuhan. Ikatan antara kedua
orang tua dengan anaknya walaupun terikat dengan segala
kasih sayang dan segala kemuliaan, ia tetap dalam urutan setelah aqidah.
Jadi, dalam hal ini jika orang tua menyentuh titik
syirik maka jatuhlah kewajiban taat kepadanya, ini menandakan bahwa ikatan
aqidah ini harus mengalahkan dan mendominasi segala ikatan lainnya. Meskipun
kedua orang tua telah mengeluarkan segala upaya, usaha, tenaga dan pandangan
yang memuaskan untuk menggoda anaknya agar menyekutukan Allah dimana ia tidak
mengetahui tentang ketuhanannya maka pada saat itu anak diperintahkan agar
tidak taat. Dalam tafsir al-Bayan juga
dijelaskan bahwa dalam ayat ini Allah mengharuskan anak untuk melayani orang
tua yang kafir secara baik walaupun tidak boleh si anak mengikuti orang tua
dalam kekafiran.
Pada ayat 16, Luqman melanjutkan wasiatnya dengan
memberikan perumpamaan, yaitu walaupun perbuatan baik dan perbuatan buruk itu
sekalipun beratnya hanya sebiji sawi dan berada di tempat yang tersembunyi,
niscaya perbuatan itu akan dikemukakan oleh Allah SWT kelak di hari kiamat,
yaitu pada hari ketika Allah meletakkan timbangan amal perbuatan yang tepat,
kemudian pelakunya akan menerima pembalasan amal perbuatannya, apabila amalnya
itu
baik
maka balasannya akan baik pula dan apabila amalnya buruk maka balasannya pun
akan buruk pula.[9]
Pada ayat 17 ini, Lukman mewasiatkan kepada anaknya
hal-hal berikut :
a.
Selalu mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya, sehingga diridhoi Allah. Jika
sholat yang dikerjakan itu diridhoi Allah, perbuatan keji dan perbuatan mungkar
dapat dicegah, jiwa menjadi bersih, tidak ada kekhawatiran terhadap diri orang
itu, dan mereka tidak akan bersedih hati jika ditimpa cobaan, dan merasa
dirinya semakin dekat dengan Tuhannya.
b.
Berusaha mengajak manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridhoi
Allah, berusaha membersihkan jiwa, dan mencapai keberuntungan, serta mencegah
mereka agar tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa.
c.
Selalu bersabar dan tabah terhadap segala macam cobaan yang menimpa, akibat
dari mengajak manusia berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang mungkar,
baik cobaan itu dalam bentuk kesenangan dan kemegahan, maupun dalam bentuk
kesengsaraan dan penderitaan.
Pada ayat 18 dari surat Luqman terdapat kata Ash-sha’ru,
artinya penyakit yang menimpa onta sehingga membengkokan lehernya. Penggunaan
gaya bahasa seperti ini dalam Al-Qur’an bertujuan agar manusia tidak meniru
gerakan Ash-sha’ru
ini yang berarti gerakan sombong seperti berjalan dengan membusungkan dada, dan
memalingkan muka dari manusia karena sombong dan merasa tinggi hati. Pada ayat
yang selanjutnya kata Al-Qosdu yang mempunyai makna maksud dan tujuan,
jadi berjalan itu harus selalu tertuju kepada maksud dan tujuan yang
ditargetkan pencapaianya. Sehingga, gaya berjalan itu tidak menyimpang,
sombong, dan mengada-ada. Namun harus ditujukan guna meraih maksudnya dengan
sederhana dan bebas.
Ayat 19 dari surat luqman menjelaskan, pertama tentang
cara berjalan dengan langkah yang sederhana, yakni tidak terlalu lambat dan
juga tidak terlalu cepat, akan tetapi berjalanlah dengan wajar tanpa
dibuat-buat dan juga tanpa pamer menonjolkan sikap rendah hati atau sikap tawadu’. Kedua,
tentang
cara berbicara yakni dengan mengurangi tingkat kekerasan suara, jangan
mengangkat suara jika tidak diperlukan sekali. Karena sesungguhnya sikap yang
demikian itu lebih berwibawa bagi yang melakukannya, dan mudah diterima oleh
jiwa pendengarnya serta lebih gampang untuk dimengerti. Ketiga, tentang ilat
atau alasan yang melarang hal diatas yakni sesungguhnya suara yang paling
buruk dan paling jelek, karena ia dikeraskan lebih daripada apa yang diperlukan
tanpa penyebab adalah suara keledai. Dengan kata lain, bahwa orang yang
mengeraskan suaranya itu berarti suaranya mirip suara keledai. Dalam hal ini
ketinggian nada dan kekerasan suara, dan suara yang seperti itu sangat dibenci
oleh Allah SWT.
Di dalam ungkapan ini jelas menunjukan nada celaka
dan kecaman terhadap orang yang mengeraskan suaranya, serta anjuran untuk
membenci perbuatan tersebut. Di dalam ungkapan ini yaitu menjadikan orang yang
mengeraskan suaranya diserupakan dengan suara keledai, terkandung pengertian
mubalagah untuk menanamkan rasa antipati dari perbuatan tersebut. Hal ini
merupakan pendidikan dari Allah untuk hamba-hambanya supaya mereka tidak
mengeraskan suaranya di hadapan orang-orang karena meremehkan mereka, atau yang
dimaksud ialah agar mereka meninggalkan perbuatan ini secara menyeluruh (dalam
kondisi apapun).[10]
Konsep Pendidikan Dalam Islam
A.
Subjek
Pendidikan
Subjek
pendidikan dalam Surah Luqman ini tertuju kepada orang tua yang mendidik
anak-anaknya, yaitu yang terdapat dalam ayat 13, 16, 17 diantaranya sebagai berikut :
1. Luqman
memulai nasihatnya kepada anaknya dengan seruan menghindari syirik sekaligus mengandung
pengajaran tentang wujud Allah yang Esa, karena perbuatan syirik itu merupakan
kezaliman yang besar.
2. Luqman
memberikan nasihat kepada anaknya agar senantiasa untuk berbuat baik walaupun
seberat biji sawi, Allah SWT akan membalasnya. Demikan pula dengan perbuatan
yang buruk.
3. Luqman
mewasiatkan kepada anaknya agar selalu mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya,
berusaha mengajak manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridhoi
Allah, Selalu bersabar dan tabah terhadap segala macam cobaan yang menimpa.
B.
Objek
Pendidikan
Objek
pendidikan dalam surah Luqman ini adalah pesan yang disampaikan pendidik kepada
yang dididik, yaitu yang terdapat dalam
ayat 13, 16, dan 17, diantaranya sebagai berikut :
1.
Menjauhi
perbuatan syirik, karena hal tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT.
2.
Senantiasa
berbuat kebaikan walaupun sebesar biji sawi.
3.
Mendirikan
sholat dengan sebaik-baiknya.
4.
Mengajak manusia
untuk berbuat kebaikan.
5.
Dan selalu
bersabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang menimpa.
C.
Metode
Pendidikan
Metode
pendidikan keluarga dalam Surah Luqman ayat 12-19 yang bisa dijadikan pedoman
bagi para orang tua, diantaranya sebagai berikut:[11]
a. Metode
mauizah (nasihat), metode ini
berorientasi pada pembinaan nilai-nilai dengan cara menyentuh aspek emosi dan
intuisi secara lebih intens.
b. Metode
ibrah (perenungan), metode ini mengajak anak untuk mengembangkan nalar dan
intuisinya dalam menemukan makna-makna esensial di belakang fakta-fakta
empirik.
c. Metode
hiwar (dialog), metode ini melibatkan
anak secara dialogis dalam proses pembelajaran, sehingga pengetahuan dan makna
atau nilai dapat dikontruksi secara bersama-sama antara pendidik dan terdidik.
d. Metode
keteladanan yang baik, metode ini ditekankan agar nilai-nilai yang dibinakan
kepada terdidik dapat terbaca secara konkrit dari seluruh tindakan pendidik.
e. Metode
amsal (perumpamaan), metode
pendidikan ini membantu pemahaman terdidik dengan menggunakan perumpamaan yang
konkrit untuk memudahkan memahami sesuatu yang abstrak.
D.
Materi
Pendidikan
Materi pendidikan keluarga dalam Surah
Luqman 12-19 yang bisa dijadikan pedoman bagi para orang tua di antaranya:[12]
a. Pendidikan
Aqidah, mengajarkan materi ketauhidan untuk tidak berlaku syirik dan menanamkan
jiwa tauhid dalam diri anak sebagai bekal utama hidup untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Pendidikan
Ibadah, mengajarkan anak untuk beribadah kepada Allah dengan melakukan shalat sebagai tiang agama yang akan membantengi
seseorang dari perbuatan keji dan munkar.
c. Pendidikan
Muamalah, mengajarkan anak untuk bermuamalah dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan
kewajiban bagi setiap orang untuk mendakwahkan ajaran Allah Swt.
d. Pendidikan
Akhlak, mengajarkan anak untuk menjadi sosok yang berperilaku baik dengannya sesama manusia (birrul walidain amar ma’ruf nadi munkar), tidak memalingkan wajah
dan berjalan dengan angkuh (sombong), sederhana dalam berjalan, dan melunakkan
suara ketika berbicara, dan hubungannya dengan diri ).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagaimana kita ketahui pendidikan merupakan
sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Dan Islam menempatkan pendidikan itu
sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia yang harus
ditempuh, bahkan merupakan sebuah kewajiban untuk menuntut ilmu tersebut.
Dalam Qur’an
surah Luqman dari ayat 12-19 juga telah
dijelaskan bahwa betapa pentingnya pendidikan tersebut bagi kita, dan dalam
ayat ini juga dijelaskan kepada kita bagaimana orang tua mendidik anaknya sebagai
subjek dalam pendidikan, yang dimana macam-macam pendidikan yang diajarkan oleh
orang tua kepada anaknya tersebut berupa pendidikan aqidah, pendidikan birrul walidain, pendidikan
shalat, pendidikan amar ma’ruf nahi mungkar, dan pendidikan budi pekerti atau
akhlak.
Oleh sebab
itu, haruslah keluarga mengambil posisi tentang pendidikan ini, mengajar mereka
akhlak yang mulia yang diajarkan Islam seperti kebenaran, kejujuran,
keikhlasan, kasih sayang, cinta kebaikan, pemurah, pemberani dan lain
sebagainya.
Toha
Putra, 1992), Juz XXI, hlm. 152
10,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 125
basyarahil,
Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), Jilid XXI, hlm.174
2010),
hlm. 553
Min
Ibni Katsiir,
(Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2008), hlm. 3260
(Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 127
[10]
Ahmad
Musthafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi,
(Semarang: Toha Putra,
1992),
hlm. 162-163
Pelajar,
1998). hlm. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar