Selasa, 04 Juni 2013

TAFSIR



BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP  PENDIDIKAN DALAM ISLAM
SURAH LUQMAN AYAT 12-19

Artinya:
12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui”.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
v Asbab An-Nuzul
       Secara etimologi, kata asbab al-nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW secara berangsur - angsur bertujuan untuk memperbaiki aqidah, ibadah, akhlak dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Karena itu dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan kerusakan dalam tatanan manusia merupakan sebab turunnya Al-Qur‟an. Asbab al-nuzul (sebab turun ayat) di sini dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu. Sedangkan menurut Subhi al-Salih, asbab an-nuzul adalah sesuatu yang dengan sebabnya turun ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.[1]

Adapun sebab turunnya ayat 12-19 dari surat Luqman sejauh penulusuran yang penulis lakukan tidak ditemukan adanya sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, hanya saja dalam ayat 13 dalam tafsir Al-Misbah, diriwayatkan bahwa Suwayd ibn ash-Shamit suatu ketika datang ke mekah. Ia adalah seorang yang cukup terhormat di kalangan masyarakatnya. Lalu Rasulullah mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Suwayd berkata kepada Rasulullah, “Mungkin apa yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku.” Rasulullah berkata, “Apa yang ada padamu?” Ia menjawab, “Kumpulan hikmah Lukman.” Kemudian Rasulullah berkata,
“Sungguh perkataan yang amat baik ! Tetapi apa yang ada padaku lebih baik dari itu. Itulah al-Qur’an yang diturunkan Allah kepadaku untuk menjadi petunjuk dan cahaya.” Rasulullah lalu membacakan al-Qur’an kepadanya dan mengajaknya memeluk Islam.[2]

Kemudian menurut Sayid Qutb bahwa ayat 13 yang menjelaskan tentang tauhid, inilah hakikat yang ditawarkan oleh nabi Muhammad saw kepada kaumnya. Namun, mereka menentangnya dalam perkara itu, dan meragukan maksud baiknya di balik tawarannya. Mereka
takut dan khawatir bahwa di balik tawaran itu terdapat ambisi Muhammad saw untuk merampas kekuasaan dan kepemimpinan atas mereka. Kemudian ayat 14 dan 15 penulis menemukan riwayat bahwa ayat ini menggambarkan nuansa pengorbanan yang agung dan dahsyat. Seorang ibu yang dengan tabiatnya harus menanggung beban yang lebih berat dan lebih kompleks. Namun, luar biasa, ia tetap menanggungnya dengan senang hati dan cinta yang lebih dalam, lembut, dan halus. Diriwayatkan oleh Hafidz Abu Bakar al-Bazzar dalam musnadnya dengan sanadnya dari Buraid dari ayahnya bahwa seseorang sedang berada dalam barisan tawaf menggendong ibunya untuk membawanya bertawaf. Kemudian dia bertanya kepada Nabi
Muhammad saw, “Apakah aku telah menunaikan haknya? ”Rasulullah menjawab, “Tidak, walaupun satu tarikan nafas.”[3]

Diriwayatkan bahwa ayat 15 ini diturunkan berhubungan dengan Sa’ad bin Abi Waqqas, ia berkata, “Tatkala aku masuk Islam, ibuku bersumpah bahwa beliau tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan agama Islam itu. Untuk itu pada hari pertama aku mohon agar beliau mau makan dan minum, tetapi beliau menolaknya dan tetap bertahan pada pendiriannya. Pada hari kedua, aku juga mohon agar beliau mau makan dan minum, tetapi beliau masih tetap pada pendiriannya. Pada hari ketiga, aku mohon kepada beliau agar mau makan dan minum, tetapi tetap menolaknya. Oleh karena itu, aku berkata kepadanya, Demi Allah, seandainya ibu mempunyai seratus jiwa dan keluar satu persatu di hadapan saya sampai ibu mati, aku tidak akan meninggalkan agama yang aku peluk ini. Setelah ibuku melihat keyakinan dan kekuatan pendirianku, maka beliaupun mau makan.”[4]



v Tafsir Surah Luqman ayat 12-19
Dalam ayat 12 diterangkan bahwa Allah telah memberikan hikmah, akal, paham dan memberikan petunjuk untuk memperoleh ma’rifat yang benar kepada Luqman. Oleh karena itu, Luqman menjadi seorang yang hakim (mempunyai hikmah). Ini memberikan pengertian bahwa anjuran Luqman yang disampaikan kepada anaknya berupa ajaran-ajaran hikmah, bukan dari wahyu. Hal ini didasarkan pada pendapat yang benar bahwa Luqman adalah seorang hakim
(orang bijak, filosof) dan bukan Nabi. Orang yang mensyukuri nikmat Allah maka sebenarnya dia bersyukur untuk kepentingan dirinya sendiri, sebab Allah akan memberikan pahala yang banyak dan melepaskan dari siksa.[5]
Dalam ayat ini ada cerita menarik yang telah diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah tentang firman Allah : “Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Luqman,” yaitu pemahaman, pengetahuan dan ta’bir mimpi. “Yaitu,bersyukurlah kepada Allah,” kami memerintahkan kepadanya untuk bersyukur kepada Allah SWT atas apa yang diberikan, dianugerahkan dan dihadiahkan oleh-Nya berupa keutamaan yang hanya dikhususkan kepadanya, tidak kepada orang lain yang sejenis di masanya. Kemudian Allah Ta’ala berfirman : “Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka ia bersyukur untuk dirinya sendiri,” yaitu manfaat dan pahalanya hanya akan kembali kepada orang-orang yang bersyukur itu sendiri, dan firman Allah : “Dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha kaya Lagi Maha terpuji,” yaitu Maha kaya dari hamba-hamba-Nya, dimana hal itu (ketidak bersyukurannya) tidak dapat membahayakan-Nya, sekalipun seluruh penghuni bumi mengkufuri- Nya. Karena sesungguhnya Allah Mahakaya dari selain-Nya. Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya.[6]

Pada ayat 13 ada kata ya’izhuhu ( يعظه) yang terambil dari kata wa’zd ( وعظ) yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Luqman memulai nasihatnya dengan seruan menghindari syirik sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud Allah yang Esa.[7]  Dalam Tafsir Munir juga ayat itu disebutkan wa huwa ya‘izhuh. Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau al- ‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan ungkapan halus yang bisa melunakkan hati. Karena itu, dalam mendidik anaknya, Luqman menempuh cara yang amat baik, yang bisa meluluhkan hati anaknya sehingga mau mengikuti nasihat-nasihat yang diberikan. Allah menjelaskan bahwa Luqman telah diberi hikmat, karena itu Luqman
bersyukur kepada Tuhannya atas semua nikmat yang telah dilimpahkan Nya kepada dirinya. Allah SWT mewasiatkan kepada mereka supaya memperlakukan orang-orang tua mereka dengan cara yang baik dan selalu memelihara hak-haknya sebagai orang tua. Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu merupakan kezaliman yang besar. Imam Bukhori telah meriwayatkan sebuah hadist yang bersumber dari Ibnu Mas’ud, Ia telah menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firmannya surat al-an’am
ayat 82 :
artinya:
 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Q.S. Al-An‟am/6: 82).

Sesudah Allah menurunkan apa yang telah diwariskan oleh luqman terhadap anaknya, yaitu supaya ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan semua nikmat, yang tiada seorangpun bersekutu denganNya, didalam menciptakan sesuatu. Kemudian Luqman menegaskan bahwasanya syirik itu adalah perbuatan yang buruk. Kemudian Allah SWT mengiringi hal tersebut dengan wasiat-Nya kepada semua anak, supaya mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya, karena sesungguhnya kedua orang tua adalah penyebab pertama bagi keberadaan kita di muka bumi ini.

Dalam ayat 14 ini digambarkan bagaimana payah ibu mengandung, payah bertambah payah. Payah sejak dari mengandung bulan pertama, bertambah payah tiap bertambah bulan dan sampai di puncak kepayahan di waktu anak dilahirkan. Lemah sekujur badan ketika menghajan anak keluar, kemudian mengasuh, menyusukan, memomong, menjaga, memelihara sakit senangnya. Dalam ujung ayat ini, dianjurkan untuk bersyukur, syukur yang pertama ialah kepada Allah. Karena semua itu berkat rahmat Allah belaka. Setelah itu bersyukurlah kepada kedua orang tuamu, ibu yang mengasuh dan ayah yang membela dan melindungi ibu dan melindungi anak anaknya, ayah yang berusaha mencari sandang dan pangan setiap hari.[8] Dalam ayat ini, Allah hanya menyebutkan sebab-sebab manusia harus taat dan berbuat baik kepada ibunya. Nabi Muhammad saw. sendiri memerintahkan agar seorang anak lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibunya daripada kepada bapaknya, sebagaimana diterangkan dalam hadits : Dari Abi Hurairoh, ia berkata, “Aku bertanya ya Rasulullah, kepada siapakah aku wajib berbakti? “Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu. “Aku bertanya, “Kemudian kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu.” Aku bertanya, “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasulullah menjawab.” Kepada ibumu. “Aku bertanya, “Kemudian kepada siapalagi?” Rasulullah menawab, “Kepada bapakmu, Kemudian kepada kerabat yang lebih dekat, kemudian kerabat yang lebih dekat.” (Riwayat Ibnu Majah).
 Ibu bapak dalam ayat ini disebut secara umum, tidak dibedakan antara ibu bapak yang muslim dengan yang kafir. Oleh Karena itu, dapat dipahami bahwa anak wajib berbuat baik kepada ibu bapaknya, apakah ibu bapaknya itu muslim atau kafir, jadi pada ayat yang ke-15 ini menerangkan bahwa dalam hal tertentu, seorang anak dilarang menaati ibu bapaknya jika mereka memerintahkannya untuk menyukutukan Allah, yang dia sendiri memang tidak mengetahui bahwa Allah mempunyai sekutu, karena memang tidak ada sekutu bagi-Nya. Sepanjang
pengetahuan manusia, Allah tidak mempunyai sekutu. Karena menurut naluri, manusia harus mengesakan Tuhan. Ikatan antara kedua orang tua dengan anaknya walaupun terikat dengan segala kasih sayang dan segala kemuliaan, ia tetap dalam urutan setelah aqidah.
Jadi, dalam hal ini jika orang tua menyentuh titik syirik maka jatuhlah kewajiban taat kepadanya, ini menandakan bahwa ikatan aqidah ini harus mengalahkan dan mendominasi segala ikatan lainnya. Meskipun kedua orang tua telah mengeluarkan segala upaya, usaha, tenaga dan pandangan yang memuaskan untuk menggoda anaknya agar menyekutukan Allah dimana ia tidak mengetahui tentang ketuhanannya maka pada saat itu anak diperintahkan agar tidak taat. Dalam tafsir al-Bayan juga dijelaskan bahwa dalam ayat ini Allah mengharuskan anak untuk melayani orang tua yang kafir secara baik walaupun tidak boleh si anak mengikuti orang tua dalam kekafiran.
Pada ayat 16, Luqman melanjutkan wasiatnya dengan memberikan perumpamaan, yaitu walaupun perbuatan baik dan perbuatan buruk itu sekalipun beratnya hanya sebiji sawi dan berada di tempat yang tersembunyi, niscaya perbuatan itu akan dikemukakan oleh Allah SWT kelak di hari kiamat, yaitu pada hari ketika Allah meletakkan timbangan amal perbuatan yang tepat, kemudian pelakunya akan menerima pembalasan amal perbuatannya, apabila amalnya itu
baik maka balasannya akan baik pula dan apabila amalnya buruk maka balasannya pun akan buruk pula.[9]

Pada ayat 17 ini, Lukman mewasiatkan kepada anaknya hal-hal berikut :
a. Selalu mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya, sehingga diridhoi Allah. Jika sholat yang dikerjakan itu diridhoi Allah, perbuatan keji dan perbuatan mungkar dapat dicegah, jiwa menjadi bersih, tidak ada kekhawatiran terhadap diri orang itu, dan mereka tidak akan bersedih hati jika ditimpa cobaan, dan merasa dirinya semakin dekat dengan Tuhannya.
b. Berusaha mengajak manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridhoi Allah, berusaha membersihkan jiwa, dan mencapai keberuntungan, serta mencegah mereka agar tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa.
c. Selalu bersabar dan tabah terhadap segala macam cobaan yang menimpa, akibat dari mengajak manusia berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang mungkar, baik cobaan itu dalam bentuk kesenangan dan kemegahan, maupun dalam bentuk kesengsaraan dan penderitaan.

Pada ayat 18 dari surat Luqman terdapat kata Ash-sha’ru, artinya penyakit yang menimpa onta sehingga membengkokan lehernya. Penggunaan gaya bahasa seperti ini dalam Al-Qur’an bertujuan agar manusia tidak meniru gerakan Ash-sha’ru ini yang berarti gerakan sombong seperti berjalan dengan membusungkan dada, dan memalingkan muka dari manusia karena sombong dan merasa tinggi hati. Pada ayat yang selanjutnya kata Al-Qosdu yang mempunyai makna maksud dan tujuan, jadi berjalan itu harus selalu tertuju kepada maksud dan tujuan yang ditargetkan pencapaianya. Sehingga, gaya berjalan itu tidak menyimpang, sombong, dan mengada-ada. Namun harus ditujukan guna meraih maksudnya dengan sederhana dan bebas.

Ayat 19 dari surat luqman menjelaskan, pertama tentang cara berjalan dengan langkah yang sederhana, yakni tidak terlalu lambat dan juga tidak terlalu cepat, akan tetapi berjalanlah dengan wajar tanpa dibuat-buat dan juga tanpa pamer menonjolkan sikap rendah hati atau sikap tawadu’. Kedua, tentang cara berbicara yakni dengan mengurangi tingkat kekerasan suara, jangan mengangkat suara jika tidak diperlukan sekali. Karena sesungguhnya sikap yang demikian itu lebih berwibawa bagi yang melakukannya, dan mudah diterima oleh jiwa pendengarnya serta lebih gampang untuk dimengerti. Ketiga, tentang ilat atau alasan yang melarang hal diatas yakni sesungguhnya suara yang paling buruk dan paling jelek, karena ia dikeraskan lebih daripada apa yang diperlukan tanpa penyebab adalah suara keledai. Dengan kata lain, bahwa orang yang mengeraskan suaranya itu berarti suaranya mirip suara keledai. Dalam hal ini ketinggian nada dan kekerasan suara, dan suara yang seperti itu sangat dibenci oleh Allah SWT.
Di dalam ungkapan ini jelas menunjukan nada celaka dan kecaman terhadap orang yang mengeraskan suaranya, serta anjuran untuk membenci perbuatan tersebut. Di dalam ungkapan ini yaitu menjadikan orang yang mengeraskan suaranya diserupakan dengan suara keledai, terkandung pengertian mubalagah untuk menanamkan rasa antipati dari perbuatan tersebut. Hal ini merupakan pendidikan dari Allah untuk hamba-hambanya supaya mereka tidak mengeraskan suaranya di hadapan orang-orang karena meremehkan mereka, atau yang dimaksud ialah agar mereka meninggalkan perbuatan ini secara menyeluruh (dalam kondisi apapun).[10]



Konsep Pendidikan Dalam Islam

A.   Subjek Pendidikan
Subjek pendidikan dalam Surah Luqman ini tertuju kepada orang tua yang mendidik anak-anaknya, yaitu yang terdapat dalam  ayat 13, 16, 17 diantaranya sebagai berikut :
1.     Luqman memulai nasihatnya kepada anaknya dengan seruan menghindari syirik sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud Allah yang Esa, karena perbuatan syirik itu merupakan kezaliman yang besar.
2.     Luqman memberikan nasihat kepada anaknya agar senantiasa untuk berbuat baik walaupun seberat biji sawi, Allah SWT akan membalasnya. Demikan pula dengan perbuatan yang buruk.
3.     Luqman mewasiatkan kepada anaknya agar selalu mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya, berusaha mengajak manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridhoi Allah, Selalu bersabar dan tabah terhadap segala macam cobaan yang menimpa.

B.   Objek Pendidikan
Objek pendidikan dalam surah Luqman ini adalah pesan yang disampaikan pendidik kepada yang dididik, yaitu yang  terdapat dalam ayat 13, 16, dan 17, diantaranya sebagai berikut :
1.     Menjauhi perbuatan syirik, karena hal tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT.
2.     Senantiasa berbuat kebaikan walaupun sebesar biji sawi.
3.     Mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya.
4.     Mengajak manusia untuk berbuat kebaikan.
5.     Dan selalu bersabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang menimpa.

C.   Metode Pendidikan
Metode pendidikan keluarga dalam Surah Luqman ayat 12-19 yang bisa dijadikan pedoman bagi para orang tua, diantaranya sebagai berikut:[11]
a.      Metode mauizah (nasihat), metode ini berorientasi pada pembinaan nilai-nilai dengan cara menyentuh aspek emosi dan intuisi secara lebih intens.
b.     Metode ibrah (perenungan), metode ini mengajak anak untuk mengembangkan nalar dan intuisinya dalam menemukan makna-makna esensial di belakang fakta-fakta empirik.
c.      Metode hiwar (dialog), metode ini melibatkan anak secara dialogis dalam proses pembelajaran, sehingga pengetahuan dan makna atau nilai dapat dikontruksi secara bersama-sama antara pendidik dan terdidik.
d.     Metode keteladanan yang baik, metode ini ditekankan agar nilai-nilai yang dibinakan kepada terdidik dapat terbaca secara konkrit dari seluruh tindakan pendidik.
e.      Metode amsal (perumpamaan), metode pendidikan ini membantu pemahaman terdidik dengan menggunakan perumpamaan yang konkrit untuk memudahkan memahami sesuatu yang abstrak.

D.   Materi Pendidikan
Materi pendidikan keluarga dalam Surah Luqman 12-19 yang bisa dijadikan pedoman bagi para  orang tua di antaranya:[12]
a.      Pendidikan Aqidah, mengajarkan materi ketauhidan untuk tidak berlaku syirik dan menanamkan jiwa tauhid dalam diri anak sebagai bekal utama hidup untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
b.     Pendidikan Ibadah, mengajarkan anak untuk beribadah kepada Allah dengan melakukan shalat  sebagai tiang agama yang akan membantengi seseorang dari perbuatan keji dan munkar.
c.      Pendidikan Muamalah, mengajarkan anak untuk bermuamalah dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk mendakwahkan ajaran Allah Swt.
d.     Pendidikan Akhlak, mengajarkan anak untuk menjadi sosok yang berperilaku baik  dengannya sesama manusia (birrul walidain amar ma’ruf nadi munkar), tidak memalingkan wajah dan berjalan dengan angkuh (sombong), sederhana dalam berjalan, dan melunakkan suara ketika berbicara, dan hubungannya dengan diri ).



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sebagaimana kita ketahui pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Dan Islam menempatkan pendidikan itu sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia yang harus ditempuh, bahkan merupakan sebuah kewajiban untuk menuntut ilmu tersebut.

Dalam  Qur’an surah Luqman dari ayat 12-19 juga  telah dijelaskan bahwa betapa pentingnya pendidikan tersebut bagi kita, dan dalam ayat ini juga dijelaskan kepada kita bagaimana orang tua mendidik anaknya sebagai subjek dalam pendidikan, yang dimana macam-macam pendidikan yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tersebut berupa pendidikan aqidah,  pendidikan birrul walidain, pendidikan shalat, pendidikan amar ma’ruf nahi mungkar, dan pendidikan budi pekerti atau akhlak.

 Oleh sebab itu, haruslah keluarga mengambil posisi tentang pendidikan ini, mengajar mereka akhlak yang mulia yang diajarkan Islam seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kasih sayang, cinta kebaikan, pemurah, pemberani dan lain sebagainya.





      [1] Ahmad Musthafa Al-maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abubakar, (Semarang :
Toha Putra, 1992), Juz XXI, hlm. 152

      [2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
10, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 125
      [3] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Terj. As’ad Yasin dan Abdul Aziz Salim
basyarahil, Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), Jilid XXI, hlm.174

      [4]  Ahsin Sakho Muhammad, et.,all., Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), hlm. 553
      [5] M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan al-Atsari, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Lubaabut Tafsir
Min Ibni Katsiir, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2008), hlm. 3260

      [6]  ibid, hlm. 32-33

      [7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 127
      [8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, ( Jakarta: P.T. Pustaka Panjimas, 1998), hlm. 129.
      [9] Ahmad Musthafa  Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putra,
1992), hlm. 157-158
[10] Ahmad Musthafa  Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putra,
1992), hlm. 162-163
      [11] Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998). hlm. 89

      [12] Nurwadjah Ahmad E.Q, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Bandung: Marja, 2007), hlm. 169-170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar