PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir, Takwil
& Terjemah
- Tafsir
Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan
dan menerangkan, Tafsir diambil dari kata Al-Fasr’ yang berarti membuka dan
menjelaskan sesuatu yang tertutup. Oleh karena itu dalam bahsa arab kata tafsir
berarti membuka secara maknawi dengan menjelaskan arti yang tertangkap dari
redaksional yang eksplisit (tersurat).
Maka defenisi Al-Qur’an adalah ilmu
yang membahas tentang redaksi-redaksi Al-Qur’an dengan memperhatikan pengertian
untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai
dengan kadar kemampuan manusia.
Adapun tentang pengertian tafsir
berdasarkan istilah, para ulama banyak memberikan komentar antara lain sebagai
berikut :
- Menurut Al-Kilabi
Tafsir adalah penjelasan Al-Qur’an
dengan menerangkan makna dari tujuan (isyarat).
- Menurut Syekh Al-Jazari
Tafsir adalah hakekatnya menjelaskan
lafazh yang sukar difahami dengan jalan mengemukakan salah satu lafazh yang
bersinonim (mendekati) dengan lafazh tersebut
- Menurut abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu yang mengenai cara
pengucapan lafazh Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk kandungan hukum
dan makna yang terkandung didalamnya.
- Menurut Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk
memahami dan menjelaskan makna-makna Al-Qur’an yang diturunkan pada pada nabi
Muhammad SAW, serta mengumpulkan kandungan dan hukum dan hikmahnya.
Berdasarkan beberapa rumusan tafsir
yang dikemukakan para ulama tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir
adalah suatu hasil yang tanggapan dan penalaran manusia untuk menyikapi
nilai-nilai samawi yang terdapt didalam Al-Qur’an.
- Takwil
Arti takwil menurut lughat berarti
menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqoni adalah sama
dengan tafsir.
Adapun mengenai arti takwil menurut
istilah banyak para ulama memberikan pendapatnya antara lain sebagai berikut
ini :
- Menurut Al-Jurzzani
Memalingkan suatu lafazh dari makna
d’zamirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternative yang
dipandang sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
- Menurut defenisi lain
Takwil adalah mengenbalikan sesuatu
kepada ghayahnya (tujuannya) yakni menerangkan apa yang dimaksud.
- Menurut Ulama Salaf
1). Menafsirkan dan mejelaskan makna
suatu ungkapan baik yang bersesuaian dengan makna ataupun bertentangan.
2). Hakekat yang sebenarnya yang
dikehendaki suatu ungkapan.
- Menurut Khalaf
Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya
yang rajin kepada makna yang marjun karena ada indikasi untuk itu.
Pengertian takwil menurut istilah
adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui
pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
- Terjemah
Arti terjemah menurut bahasa adalah
susunan dari suatu bahasa kebahasa atau mengganti, menyalin, memindahkan
kalimat dari suatu bahasa lain kesuatu bahasa lain.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan
Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh “Ash-Shabuni” yakni memindahkan
Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini kedalam
beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga dia
dapat
B.
Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Adapun
perbedaan tafsir, takwil dan terjemah itu sendiri dapat dijelaskan sebagai
berikut.
- Tafsir.
Menerangkan makna lafazh yang telah
diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang dikehendaki ayat
yang dikehendaki Allah SWT.
- Takwil
- Menetapkan makna
yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung
oleh dalil.
- Mengoleksi salah
satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah
yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
- Terjemah
Mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang
berasal dari bahasa arab kedalam bahasa non arab.
C.
Klasifikasi Tafsir : Bi Al-Ma’tsur dan Bir-Ra’yi
- Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Adalah penafsiran Al-Qur’an yang
mendasarkan pada penjelasan Al-Qur’an rasul, para sahabat melalui ijtihadnya.
Hukum Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Tafsir Bi Al-Ma’tsur wajib untuk
mengikuti dan diambil karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah.
- Tafsir Bir-Ra’yi
Berdasarkan pengertian ra’yi berarti
keyakinan dan ijtihad sebagaimana dapat didefinisikan tafsir Bir-ra’yi adalah
penjelasan yang diambil berdasarkan ijtihad dan metodenya dari dalil hukum yang
ditunjukkan.
Hukum Tafsir Bir-ra’yi
Tafsir banyak dilakukan oleh ahli
bid’ah yang menyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafazh-lafazh
Al-Qur’an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahuluan dari kalangan sahabat.
Tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, sering penafsiran
Al-Qur’an dianggap dengan akal semata, maka hukumnya adalah haram sebagai mana
firman Allah:
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
Dari uraian yang telah dijelaskan
diatas bahwa tafsir, takwil dan terjemah banyak mengandung pengertian dari para
ulama berdasarkan tujuan dari tafsir, takwil dan terjemah adalah sebagai
penjelasan yang terkandung dalam Al-qur’an.
B. Tafsir & Tadabbur
Pengertian Tafsir
Tafsir itu berasal dari bahasa arab
yang bererti menyingkap sesuatu yang tertutup. Dan secara istilah menurut Abu
Hayyan, tafsir itu adalah ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz Al-Quran
Al-Karim, petunjuknya, hukumnya, baik ketika berdiri sendiri mahupun ketika
tersusun dalam suatu rangkaian, serta hal-hal yang melengkapinya.
Penafsiran
Al-Quran Al-Karim itu tidak boleh dilakukan oleh orang biasa, melainkan dilakukan
langsung oleh Rasulullah SAW kerana Rasulullah SAW itu merupakan Al-Quran
Al-Karim yang berjalan. Selain itu yang berhak menafsirkan Al-Quran Al-Karim
adalah para sahabat Rasulullah SAW kerana mereka pernah hidup bersama
Rasulullah SAW dan telah diakui sebagai penyebar agama Islam. Seterusnya adalah
murid-murid para sahabat Rasulullah SAW yang telah menimba ilmu dari sumber
yang asli.
Sampai
kepada kita, semua tafsir itu sudah menjadi bentuk tulisan yang tersusun rapi
berjilid-jilid. Semua itu tidak lain merupakan tafsir 'rasmi' yang berasal dari
sumber yang asli, iaitu Rasulullah SAW, para shahabat dan tabi'in serta tabi'it
tabi'in. Itulah yang kita sebut dengan tafsir Al-Quran Al-Karim, yaitu
penerangan rasmi yang menjelaskan setiap makna Al-Quran Al-Karim yang kita
dapat secara rasmi melalui riwayat-riwayat yang sahih dan boleh
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Kalau
pada hari ini kita mengenal istilah bahwa seorang ustaz menafsrikan sebuah ayat
Al-Quran Al-Karim, sebenarnya dia bukan sedang menafsirkan, sebaliknya sedang
membacakan tafsir Al-Quran Al-Karim dari kitab-kitab tafsir. Yang menafsirkan
sebenarnya bukan dia, melainkan rentetan riwayat bemas yang bersumber daripada
mata air yang murni.
Pengertian Tadabbur
Adapun mentadabburkan ayat Al-Quran
Al-Karim itu berbeza maknanya dengan menafsirkannya. Kerana tadabbur itu
maknanya meresapi, merenungkan dan menghayati ayat Al-Quran Al-Karim
berdasarkan tafsir yang sudah ada. Sehingga bicara tadabbur merupakan kata-kata
untuk membuka hati, sedangkan bicara tafsir adalah bicara riyawat yang tsiqah
24.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Ketika Allah SWT berbicara tentang
orang yang tidak mendatabburi Al-Quran Al-Karim, disebutkan bahwa orang itu
hatinya ada penutup, sehingga tidak dapat meresapi dan menghayati apa yang
terkandung di dalam Al-Quran Al-Karim itu
[Muhammad, 47:24].
(setelah
diterangkan Yang demikian) maka Adakah mereka sengaja tidak berusaha memahami
serta memikirkan isi Al-Quran? atau telah ada di atas hati mereka kunci penutup
(yang menghalangnya daripada menerima ajaran Al-Quran)?
Maka apakah mereka tidak mentadabburkan
(memperhatikan) Al Qur'an ? ataukah hati mereka terkunci?
[Muhammad, 47: 24]
Tadabbur dan Tafsir Mesti Beriringan
Tentunya
seseorang tidak dibenarkan merenung-renung sendiri atau mengarang-ngarang
sendiri pengertian ayat quran hanya dari pemikiran dan apa yang terlintas di
kepalanya. Apalagi hanya dengan membaca sekilas terjemahan yang sangat tidak
lengkap itu. Sebab siapakah yang bisa mempertanggung-jawabkan bahwa hasil
renungannya itu sesuai dengan maunya Allah SWT ketika menurunkan ayat itu ?
Kerana
itu seorang yang ingin mentadabburkan Al-Quran Al-Karim wajiblah hukumnya
merujuk kepada kitab tafsir yang muktamad. Kerana kalau tidak, maka yang
terjadi adalah tafsir birra'yi al-mazmum, yaitu penafsiran Al-Quran Al-Karim
dengan logik yang tercela. Tidak boleh dibenarkan isinya dan tidak boleh dipertanggungjawabkan.
Kalau
pun diterima seorang ulama menafsirkan Al-Quran Al-Karim dengan ra'yunya, maka
ada banyak syarat yang perlu dipenuhi pada dirinya dan juga pada methodnya itu.
Sehingga boleh masuk dalam kategori penafsiran birra'yi al-mahmud, dengan
logika namun terpuji.
C. Seputar Takwil
Ta'wil
secara bahasa berasal dari kata "aul", yang
berarti kembali ke asal. Di katakan آل إليه
أولا ومآلا artinya, kembali
kepadanya. أوّل الكلام تأويلا"" artinya, memikirkan, memperkirakan, dan menafsirkannya.
Atas dasar ini maka ta'wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama, ta'wil
kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara,
orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu
kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali merujuk dan merujuk kepada makna
hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud.
Kedua,
ta'wilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian
inilah yang dimaksudkan Ibn Jarir at-Tabrani dalam tafsir-nya dengan kata-kata:
"Pendapat tentang ta'wil firman Allah ini. begini
dan begitu.." dan kata-kata "Ahli ta'wil" berbeda pendapat
tentang ayat ini. Jadi, yang di maksud dengan kata "ta'wil" disini
adalah tafsir.
Ta'wil dalam tradisi muta'akkhirin adalah:
"Memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah
(marjuh) karena ada dalil yang menyertainya". Definisi ini tidak sesuai
dengan apa yang dimaksud dengan lafadza "ta'wil" dalam Qu'an menurut
versi salaf.
D. Muhkam Mutasyabih
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan
yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Adapun mutasyabih
adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar.[1]
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan pengertian muhkam dan mutasyabih, yakni sebagai berikut:
a) Ulama golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah
lafal yang diketahui makna maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya
maupun karena dengan ditakwilkan. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang
pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bias
mengetahuinya. Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, arti
huruf-huruf Muqaththa’ah.Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan pengertian muhkam dan mutasyabih, yakni sebagai berikut:
b) Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh (dihapuskan hukumnya). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang samar maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau pun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil-dalil). Sebab, lafal mutasyabih termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.
c) Mayoritas ulama golongan ahlul fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang tidak bisa ditakwilkan kecuali satu arah atau segi saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat ditakwilkan dalam beberapah arah atau segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah surga, neraka, dan sebagainya.
d) Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam-macam takwilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal yang bermakna ganda (lafal musytarak), lafal yang asing (gharib), lafal yang berarti lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e) Imamul Haramain, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga mudah dipahami arti dan maksudnya sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika disertai dengan adanya tanda-tanda atau isyaratyang menjelaskannya. Contohnya seperti lafal yang musytarak, mutlak, khafi (samara), dan sebagainya.
f) Imam Ath-Thibi mengatakan, lafal muhlam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul Ihkami) yang berarti baik atau bagus. Contohnya seperti yang dhahir, lafal yang tegas, dan sebagainya. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang sulit dipahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan atau kesukaran. Contohnya seperti lafal musytarak, mutlak, dan sebagainya.
g) Imam Fakhruddin Ar-Razi berpendapat lafal muhkam ialah lafal yang petunjuknya kepada sesuatu makna itu kuat, seperti lafal yang nash, atau yang jelas, dan sebagainya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafal yang global, yang musykil, yang ditakwili, dan sebagainya.
h) Ikrimah dan Qatadah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena sudah jelas dan tegas, seperti umumnya lafal Al-Quran. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang isi maknanya tidak perlu diamalkan, melainkan cukup diimani eksistensinya saja.[2]
i) Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.[3]
Jadi, jika semua definisi muhkam tersebut
dirangkum, maka pengertian muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui
dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan
tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga
dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian mutasyabih ialah
lafal-Al-Quran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal
manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri
sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat, sehingga menimbulkan kesulitan
cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu amalkan, karena merupakan ilmu yang
hanya dimonopoli Allah SWT.[4]
B. Sebab-Sebab Adanya Ayat-Ayat Muhkamah dan Mutasyabihat
Secara tegas dapat dikatakan, bahwa sebab adanya
ayat muhkamah dan mutasyabihat ialah karena Allah SWT menjadikannya demikian
itu. Allah SWT memisahkan atau membedakan antara ayat-ayat yang muhkam dari
yang mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang
mutasyabihat.
Allah SWT telah berfirman:Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-K-itab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat.” (Q.S. Ali Imran: 7)
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat
muhkamat itu sudah jelas, yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah
Ali Imran di atas. Sedang sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an
ialah karena ada kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit
dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti yang lain, disebabkan karena bisa
ditakwilkan dengan bermacam-macam dan petunjuk pun tidak tegas, karena sebagian
besar merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT
saja.[5]
C. Macam-Macam Ayat Mutasyabihat
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat
mutasyabihat dalam Al-Qur’an, maka macam-macam ayat mutasyabihat itu ada tiga
macam, sebagi berikut:
1) Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT. contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat
sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya.2) Ayat-ayat yang mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contohnya, seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengkayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
3) Ayat-ayat yang mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam. Hal-hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang rasikh (mendalam) ilmu pengetahuannya.[6]
D.Faedah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah atau
hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-ayat
mutasyabihat.
1.
Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
Adanya ayat-ayat Muhkamat dalam Al-Quran, jelas akan memberikan hikmah bagi
manusia, hikmah tersebut diantaranya ialah:a) Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b) Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c) Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d) Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.[7]
2) Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
Di antara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-Quran dan ketidakmampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:
a) Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b) Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.[8]
c) Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d) Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e) Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.[9]
KESIMPULAN
Bahwasanya tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam
Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah
yang
shohih karena maknanya telah jelas dan gambling. Sedang ta'wil adalah apa yang
disimpulkan
para
ulama. Karena itu, sebagian ulama mengatakan, "Tafsir adalah apa yang
berhubungan dengan
riwayat,
sedang ta'wil adalah apa yang berhubungat dengan dirayah.
Dikatakan
pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafadz dan mufrodat
(kosa
kata),
sedang ta'wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan
kalimat.
ta'wil
adalah esensiyang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta'wil dari talab
(tuntutan) adalah
esensi
perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta'wil dari khabar adalah esensi
sesuatu yang
diberitakan.
Dengan adanya
ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih, mengajak manusia berpikir dan
merenungkan betapa
Mahabesarnya Allah SWT. Dengan ayat-ayat Al-Qur’an, manusia diajak untuk
berpikir dan
merenungkan apa yang dimaksud Allah yang tersirat dan termaktub di dalam Al
Qur’an.
Maka adanya
ayat-ayat muhkamat, dapat memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan
maksudnya. Juga
memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah
mengamalkan
pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong umat untuk giat memahami,
menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah
diketahui, gampang
dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
Begitu juga dengan
adanya ayat-ayat mutasyabihat, membuktikan kelemahan dan kebodohan
manusia. Sebesar
apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya.
Hal tersebut
menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha
Mengetahui segala
sesuatu
KATA PENGANTAR
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an: Untuk IAIN,
STAIN, DAN PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia
Ilmu, 2000.
[1] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an: Untuk IAIN, STAIN, DAN PTAIS,
Bandung, Pustaka Setia, 2000, Cet. I, h. 125.
[2] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu,
2000, Ceat. II, h. 240-243.
[3] Manna’ Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Penerjemah:
Mudzakir AS, Bogor, Litera AntarNusa, 2004, Cet. 8, h. 306.
[4] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu,
2000, Ceat. II, h. 240-243.
[5] Ibid., h. 243-244.
[6] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, h. 251-252.
[7] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an,h. 262-263.
[8] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an: Untuk IAIN, STAIN, DAN PTAIS,
h. 142-143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar