Kamis, 06 Juni 2013

ULUMUL QUR'AN



PEMBAHASAN


A.   Pengertian Tafsir, Takwil & Terjemah

  1. Tafsir
Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan dan menerangkan, Tafsir diambil dari kata Al-Fasr’ yang berarti membuka dan menjelaskan sesuatu yang tertutup. Oleh karena itu dalam bahsa arab kata tafsir berarti membuka secara maknawi dengan menjelaskan arti yang tertangkap dari redaksional yang eksplisit (tersurat).
Maka defenisi Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang redaksi-redaksi Al-Qur’an dengan memperhatikan pengertian untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia.
Adapun tentang pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama banyak memberikan komentar antara lain sebagai berikut :
  1. Menurut Al-Kilabi
Tafsir adalah penjelasan Al-Qur’an dengan menerangkan makna dari tujuan (isyarat).
  1. Menurut Syekh Al-Jazari
Tafsir adalah hakekatnya menjelaskan lafazh yang sukar difahami dengan jalan mengemukakan salah satu lafazh yang bersinonim (mendekati) dengan lafazh tersebut
  1. Menurut abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu yang mengenai cara pengucapan lafazh Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk kandungan hukum dan makna yang terkandung didalamnya.
  1. Menurut Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna Al-Qur’an yang diturunkan pada pada nabi Muhammad SAW, serta mengumpulkan kandungan dan hukum dan hikmahnya.
Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dikemukakan para ulama tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir adalah suatu hasil yang tanggapan dan penalaran manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapt didalam Al-Qur’an.
  1. Takwil
Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir.
Adapun mengenai arti takwil menurut istilah banyak para ulama memberikan pendapatnya antara lain sebagai berikut ini :
  1. Menurut Al-Jurzzani
Memalingkan suatu lafazh dari makna d’zamirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternative yang dipandang sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.

  1. Menurut defenisi lain
Takwil adalah mengenbalikan sesuatu kepada ghayahnya (tujuannya) yakni menerangkan apa yang dimaksud.
  1. Menurut Ulama Salaf
1). Menafsirkan dan mejelaskan makna suatu ungkapan baik yang bersesuaian dengan makna ataupun bertentangan.
2). Hakekat yang sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.
  1. Menurut Khalaf
Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajin kepada makna yang marjun karena ada indikasi untuk itu.
Pengertian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
  1. Terjemah
Arti terjemah menurut bahasa adalah susunan dari suatu bahasa kebahasa atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa lain kesuatu bahasa lain.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh “Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga dia dapat
B. Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Adapun perbedaan tafsir, takwil dan terjemah itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut.
  1. Tafsir.
Menerangkan makna lafazh yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT.
  1. Takwil
- Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
- Mengoleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
  1. Terjemah
Mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang berasal dari bahasa arab kedalam bahasa non arab.


C. Klasifikasi Tafsir : Bi Al-Ma’tsur dan Bir-Ra’yi
  1. Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur’an rasul, para sahabat melalui ijtihadnya.
Hukum Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Tafsir Bi Al-Ma’tsur wajib untuk mengikuti dan diambil karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah.
  1. Tafsir Bir-Ra’yi
Berdasarkan pengertian ra’yi berarti keyakinan dan ijtihad sebagaimana dapat didefinisikan tafsir Bir-ra’yi adalah penjelasan yang diambil berdasarkan ijtihad dan metodenya dari dalil hukum yang ditunjukkan.
Hukum Tafsir Bir-ra’yi
Tafsir banyak dilakukan oleh ahli bid’ah yang menyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafazh-lafazh Al-Qur’an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahuluan dari kalangan sahabat. Tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, sering penafsiran Al-Qur’an dianggap dengan akal semata, maka hukumnya adalah haram sebagai mana firman Allah:
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
Dari uraian yang telah dijelaskan diatas bahwa tafsir, takwil dan terjemah banyak mengandung pengertian dari para ulama berdasarkan tujuan dari tafsir, takwil dan terjemah adalah sebagai penjelasan yang terkandung dalam Al-qur’an.
B.   Tafsir & Tadabbur


Pengertian Tafsir

Tafsir itu berasal dari bahasa arab yang bererti menyingkap sesuatu yang tertutup. Dan secara istilah menurut Abu Hayyan, tafsir itu adalah ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz Al-Quran Al-Karim, petunjuknya, hukumnya, baik ketika berdiri sendiri mahupun ketika tersusun dalam suatu rangkaian, serta hal-hal yang melengkapinya.

Penafsiran Al-Quran Al-Karim itu tidak boleh dilakukan oleh orang biasa, melainkan dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW kerana Rasulullah SAW itu merupakan Al-Quran Al-Karim yang berjalan. Selain itu yang berhak menafsirkan Al-Quran Al-Karim adalah para sahabat Rasulullah SAW kerana mereka pernah hidup bersama Rasulullah SAW dan telah diakui sebagai penyebar agama Islam. Seterusnya adalah murid-murid para sahabat Rasulullah SAW yang telah menimba ilmu dari sumber yang asli.

Sampai kepada kita, semua tafsir itu sudah menjadi bentuk tulisan yang tersusun rapi berjilid-jilid. Semua itu tidak lain merupakan tafsir 'rasmi' yang berasal dari sumber yang asli, iaitu Rasulullah SAW, para shahabat dan tabi'in serta tabi'it tabi'in. Itulah yang kita sebut dengan tafsir Al-Quran Al-Karim, yaitu penerangan rasmi yang menjelaskan setiap makna Al-Quran Al-Karim yang kita dapat secara rasmi melalui riwayat-riwayat yang sahih dan boleh dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Kalau pada hari ini kita mengenal istilah bahwa seorang ustaz menafsrikan sebuah ayat Al-Quran Al-Karim, sebenarnya dia bukan sedang menafsirkan, sebaliknya sedang membacakan tafsir Al-Quran Al-Karim dari kitab-kitab tafsir. Yang menafsirkan sebenarnya bukan dia, melainkan rentetan riwayat bemas yang bersumber daripada mata air yang murni.



Pengertian Tadabbur

Adapun mentadabburkan ayat Al-Quran Al-Karim itu berbeza maknanya dengan menafsirkannya. Kerana tadabbur itu maknanya meresapi, merenungkan dan menghayati ayat Al-Quran Al-Karim berdasarkan tafsir yang sudah ada. Sehingga bicara tadabbur merupakan kata-kata untuk membuka hati, sedangkan bicara tafsir adalah bicara riyawat yang tsiqah


24. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Ketika Allah SWT berbicara tentang orang yang tidak mendatabburi Al-Quran Al-Karim, disebutkan bahwa orang itu hatinya ada penutup, sehingga tidak dapat meresapi dan menghayati apa yang terkandung di dalam Al-Quran Al-Karim itu 
[Muhammad, 47:24].

(setelah diterangkan Yang demikian) maka Adakah mereka sengaja tidak berusaha memahami serta memikirkan isi Al-Quran? atau telah ada di atas hati mereka kunci penutup (yang menghalangnya daripada menerima ajaran Al-Quran)?

Maka apakah mereka tidak mentadabburkan (memperhatikan) Al Qur'an ? ataukah hati mereka terkunci?
[Muhammad, 47: 24]

Tadabbur dan Tafsir Mesti Beriringan

Tentunya seseorang tidak dibenarkan merenung-renung sendiri atau mengarang-ngarang sendiri pengertian ayat quran hanya dari pemikiran dan apa yang terlintas di kepalanya. Apalagi hanya dengan membaca sekilas terjemahan yang sangat tidak lengkap itu. Sebab siapakah yang bisa mempertanggung-jawabkan bahwa hasil renungannya itu sesuai dengan maunya Allah SWT ketika menurunkan ayat itu ?

Kerana itu seorang yang ingin mentadabburkan Al-Quran Al-Karim wajiblah hukumnya merujuk kepada kitab tafsir yang muktamad. Kerana kalau tidak, maka yang terjadi adalah tafsir birra'yi al-mazmum, yaitu penafsiran Al-Quran Al-Karim dengan logik yang tercela. Tidak boleh dibenarkan isinya dan tidak boleh dipertanggungjawabkan.

Kalau pun diterima seorang ulama menafsirkan Al-Quran Al-Karim dengan ra'yunya, maka ada banyak syarat yang perlu dipenuhi pada dirinya dan juga pada methodnya itu. Sehingga boleh masuk dalam kategori penafsiran birra'yi al-mahmud, dengan logika namun terpuji.

C.   Seputar Takwil

Ta'wil secara bahasa berasal dari kata "aul",  yang berarti kembali ke asal. Di katakan آل إليه أولا ومآلا artinya, kembali kepadanya. أوّل الكلام تأويلا"" artinya, memikirkan, memperkirakan, dan menafsirkannya. Atas dasar ini maka ta'wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:

Pertama, ta'wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali merujuk dan merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud.

Kedua, ta'wilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibn Jarir at-Tabrani dalam tafsir-nya dengan kata-kata: "Pendapat tentang ta'wil firman Allah ini. begini dan begitu.." dan kata-kata "Ahli ta'wil" berbeda pendapat tentang ayat ini. Jadi, yang di maksud dengan kata "ta'wil" disini adalah tafsir.

Ta'wil dalam tradisi muta'akkhirin adalah: "Memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya". Definisi ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dengan lafadza "ta'wil" dalam Qu'an menurut versi salaf.


D.   Muhkam Mutasyabih
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar.[1]
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan pengertian muhkam dan mutasyabih, yakni sebagai berikut:
a) Ulama golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang diketahui makna maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan ditakwilkan. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bias mengetahuinya. Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, arti huruf-huruf Muqaththa’ah.
b) Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh (dihapuskan hukumnya). Sedang lafal mutasyabih adalah lafal yang samar maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau pun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil-dalil). Sebab, lafal mutasyabih termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.
c) Mayoritas ulama golongan ahlul fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang tidak bisa ditakwilkan kecuali satu arah atau segi saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat ditakwilkan dalam beberapah arah atau segi, karena masih sama. Misalnya, seperti masalah surga, neraka, dan sebagainya.
d) Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Sedang lafal yang tidak bisa berdiri sendiri adalah lafal mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam-macam takwilan terhadap lafal tersebut. Contohnya seperti lafal yang bermakna ganda (lafal musytarak), lafal yang asing (gharib), lafal yang berarti lain (lafal majaz), dan sebagainya.
e) Imamul Haramain, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga mudah dipahami arti dan maksudnya sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali jika disertai dengan adanya tanda-tanda atau isyaratyang menjelaskannya. Contohnya seperti lafal yang musytarak, mutlak, khafi (samara), dan sebagainya.
f) Imam Ath-Thibi mengatakan, lafal muhlam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul Ihkami) yang berarti baik atau bagus. Contohnya seperti yang dhahir, lafal yang tegas, dan sebagainya. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang sulit dipahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan atau kesukaran. Contohnya seperti lafal musytarak, mutlak, dan sebagainya.
g) Imam Fakhruddin Ar-Razi berpendapat lafal muhkam ialah lafal yang petunjuknya kepada sesuatu makna itu kuat, seperti lafal yang nash, atau yang jelas, dan sebagainya. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafal yang global, yang musykil, yang ditakwili, dan sebagainya.
h) Ikrimah dan Qatadah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang isi maknanya dapat diamalkan, karena sudah jelas dan tegas, seperti umumnya lafal Al-Quran. Sedangkan lafal mutasyabih ialah lafal yang isi maknanya tidak perlu diamalkan, melainkan cukup diimani eksistensinya saja.[2]
i) Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.[3]

Jadi, jika semua definisi muhkam tersebut dirangkum, maka pengertian muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal-Al-Quran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat, sehingga menimbulkan kesulitan cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu amalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah SWT.[4]
B. Sebab-Sebab Adanya Ayat-Ayat Muhkamah dan Mutasyabihat
Secara tegas dapat dikatakan, bahwa sebab adanya ayat muhkamah dan mutasyabihat ialah karena Allah SWT menjadikannya demikian itu. Allah SWT memisahkan atau membedakan antara ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat.
Allah SWT telah berfirman:

Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-K-itab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat.” (Q.S. Ali Imran: 7)
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah jelas, yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di atas. Sedang sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an ialah karena ada kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti yang lain, disebabkan karena bisa ditakwilkan dengan bermacam-macam dan petunjuk pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja.[5]
C. Macam-Macam Ayat Mutasyabihat
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an, maka macam-macam ayat mutasyabihat itu ada tiga macam, sebagi berikut:
1) Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya.
2) Ayat-ayat yang mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contohnya, seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengkayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
3) Ayat-ayat yang mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam. Hal-hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang rasikh (mendalam) ilmu pengetahuannya.[6]
D.Faedah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah atau hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-ayat mutasyabihat.
1.     Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
Adanya ayat-ayat Muhkamat dalam Al-Quran, jelas akan memberikan hikmah bagi manusia, hikmah tersebut diantaranya ialah:
a) Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b) Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c) Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d) Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.[7]

2) Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
Di antara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-Quran dan ketidakmampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:
a) Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b) Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.[8]
c) Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d) Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e) Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.[9]
KESIMPULAN


Bahwasanya tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah
yang shohih karena maknanya telah jelas dan gambling. Sedang ta'wil adalah apa yang disimpulkan
para ulama. Karena itu, sebagian ulama mengatakan, "Tafsir adalah apa yang berhubungan dengan
riwayat, sedang ta'wil adalah apa yang berhubungat dengan dirayah.
Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafadz dan mufrodat (kosa
kata), sedang ta'wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.

ta'wil adalah esensiyang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta'wil dari talab (tuntutan) adalah
esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta'wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang
diberitakan.

Dengan adanya ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih, mengajak manusia berpikir dan
merenungkan betapa Mahabesarnya Allah SWT. Dengan ayat-ayat Al-Qur’an, manusia diajak untuk
berpikir dan merenungkan apa yang dimaksud Allah yang tersirat dan termaktub di dalam Al
Qur’an.

Maka adanya ayat-ayat muhkamat, dapat memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan
maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah
mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong umat untuk giat memahami,
menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah
diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
Begitu juga dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat, membuktikan kelemahan dan kebodohan
manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya.
Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha
Mengetahui segala sesuatu





                                                                               

KATA PENGANTAR
                                                         


Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Penerjemah: Mudzakir AS, Bogor, Litera AntarNusa, 2004.
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an: Untuk IAIN, STAIN, DAN PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2000.

Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu, 2000.




[1] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an: Untuk IAIN, STAIN, DAN PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2000, Cet. I, h. 125.

[2] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu, 2000, Ceat. II, h. 240-243.

[3] Manna’ Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Penerjemah: Mudzakir AS, Bogor, Litera AntarNusa, 2004, Cet. 8, h. 306.

[4] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu, 2000, Ceat. II, h. 240-243.

[5] Ibid., h. 243-244.
[6] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, h. 251-252.

[7] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an,h. 262-263.
[8] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an: Untuk IAIN, STAIN, DAN PTAIS, h. 142-143.

[9] Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an,h. 264-266.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar